RAMALAN EKONOMI TAHUN 2030
Deklarasi London soal Papua
TEMPO.CO, Jayapura - Sejumlah anggota parlemen dari beberapa negara Pasifik dan Inggris telah membuat deklarasi di London yang menyerukan kepada dunia internasional untuk mengawasi pemilihan pada kemerdekaan Papua Barat.
Kelompok Parlemen Internasional untuk Papua Barat (International Parliamentarians for West Papua) menyelenggarakan pertemuannya di Gedung Parlemen di London untuk membahas masa depan masyarakat dan Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang sedang berada di bawah pemerintahan Indonesia.
Menurut kelompok Pembebasan Papua Barat, pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn, yang kembali memberikan dukungannya untuk perjuangan Papua Barat untuk pembebasan dan mengatakan bahwa ia ingin menuliskannya menjadi bagian dari kebijakan Partai Buruh, seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu, 4 Mei 2016.
Deklarasi tersebut mengatakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua Barat tidak dapat diterima. Deklarasi itu memperingatkan bahwa tanpa ada tindakan dari dunia internasional (situasi ini) mempertaruhkan kepunahan masyarakat Papua dan menegaskan kembali untuk hak masyarakat asli untuk menentukan nasib sendiri.
Deklarasi tersebut juga mengatakan ‘Act of Free Choice’ 1969, sanksi-referendum PBB yang memasukkan Belanda Papua (Dutch New Guinea) ke Indonesia adalah pelanggaran berat dari prinsip itu.
Deklarasi ini menyerukan kepada dunia internasional untuk mengawasi penentuan nasib sendiri sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB.
Pertemuan tersebut turut dihadiri Menteri Luar Negeri Vanuatu Bruno Leingkone, Utusan MSG Khusus Papua Barat, Rex Horoi, Menteri Pertanahan dan Sumber Daya Alam Vanuatu Ralph Regenvanu, Gubernur Oro District PNG, Gary Juffa, Lord Harries dari Pentregarth dari Inggris House of Lords dan Benny Wenda dari Gerakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Staf khusus presiden soal Papua, Lenis Kogoya, mengaku tidak tahu soal pertemuan internasional tentang kemerdekaan Papua yang diselenggarakan IPWP di London, Selasa, 3 Mei 2016.
“Aku baru tahu informasi hari ini jadi berkomentar juga tidak tahu nanti malah saya disalahin. Lebih baik nanti dulu,” kata Lenis seperti dikutip dari BBC Indonesia, di Jakarta.
Dalam sebuah pernyataan, beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa kampanye yang diadakan di luar negeri untuk memisahkan Papua dari Indonesia bukan langkah berarti. “Kadang-kadang apa yang mereka lakukan misalnya seperti sesuatu yang sangat besar, tapi sebenarnya tidak,” katanya.
IPWP didirikan aktivis Papua Merdeka dan beberapa anggota parlemen dari Vanuatu, Inggris dan Papua Nugini pada 2008. Kelompok ini terinspirasi oleh keberhasilan Parlemen Internasional untuk Timor Timur.
Pertemuan IPWP kembali mengangkat persoalan hak warga Papua untuk menentukan nasib sendiri ke dunia internasional.
Papua Barat masih dalam ‘jajahan’ Belanda ketika Republik Indonesia benar-benar merdeka pada 1949. Pada akhir 1961, Papua Barat mengadakan kongres yang menyatakaan kemerdekaan Papua Barat dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Tak lama kemudian, tentara Indonesia menginvasi Papua Barat. Terjadi konflik antara pemerintah Belanda, Indonesia, dan penduduk asli Papua tentang siapa yang berhak memerintah wilayah itu. Pada 1962, Amerika Serikat mensponsori perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang memberikan Papua Barat kepada pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia diwajibkan mengadakan pemilihan umum yang diawasi PBB mengenai hak warga Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri pada 1969.
Alih-alih menyelenggarakan pemilu yang terbuka bagi seluruh warga Papua, pemerintah Indonesia memilih 1022 ‘perwakilan’ dari populasi sekitar 800.000 orang. Mereka memilih dengan suara bulat untuk bergabung ke NKRI, kendati telegram dari kedutaan besar AS di Indonesia ke Gedung Putih menunjukkan bahwa hasil pemilihan tersebut telah ditetapkan sebelumnya.
“The Act of Free Choice di Irian Barat bagaikan tragedi Yunani, akhirnya sudah ditentukan. Protagonis utama, Pemerintah Indonesia, tidak bisa dan tidak akan mengizinkan penyelesaian selain keberlanjutan penyertaan Papua Barat ke Indonesia. Aktivitas pemberontakan amat mungkin meningkat tapi angkatan bersenjata Indonesia akan dapat menahannya, dan kalau perlu, menindasnya,” tercantum dalam dokumen rahasia yang dibuka ke publik pada tahun 2004.
SELENGKAPNYA :