Mengenal “Daeng” Dalam Tradisi Bugis-Makassar

“Daeng itu panggilan buat orang bangsawan ya?”
Pertanyaan itu sudah sering saya dengar, tentunya dari teman-teman yang tidak berasal dari Makassar atau Sulawesi Selatan. Masih banyak yang tidak mengerti tentang apa itu daeng, meski mereka tentu saja tahu kalau daeng itu adalah panggilan khas untuk orang Makassar.
Beberapa tahun lalu sebuah keributan kecil juga terjadi karena sebutan “daeng” ini. Waktu itu suhu politik sedang memanas menjelang pertarungan menuju RI-1 di tahun 2009. Ruhut Sitompul yang jadi salah satu pendukung Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah rapat resmi di DPR-RI memanggil Jusuf Kalla dengan sebutan “daeng”.


 
'DAENG AZIS' DAN KALIJODO

Kejadian ini memantik api kecil di kota Makassar. Ratusan orang turun ke jalan memprotes perlakuan Ruhut Sitompul yang dianggap melecehkan Jusuf Kalla yang adalah salah seorang yang sangat dihormati di Sulawesi Selatan. Sialnya, protes itu ada yang tidak sesuai dengan konteks. Beberapa pelaku demonstrasi menganggap Ruhut tidak sopan karena menyematkan “daeng” untuk Jusuf Kalla yang mereka anggap merendahkan posisi Jusuf Kalla karena menyamakannya dengan tukang becak. Di kota Makassar kami memang biasa menyapa tukang becak dengan sapaan daeng, kadang malah jadi daeng becak.
Duh! Saya geleng-geleng kepala, protes mereka benar-benar salah konteks. Rupanya orang Sulawesi Selatanpun masih ada yang tidak mengerti betul tentang kata “daeng” ini.
Nah, sebagai bahan pencerahan bagi semua orang Indonesia saya akan coba menjelaskan sedikit tentang kata “daeng” yang sebenarnya punya dua makna ini.
Daeng Lawa
Nama sang pedagang adalah: Daeng Lawa
1. Daeng Sebagai Panggilan Hormat.
Untuk arti yang pertama, “daeng” digunakan oleh suku Bugis dan Makassar. Memanggil seseorang dengan “daeng” di depan namanya adalah sebuah penghormatan, sama dengan penggunaan kata “mas” atau “kang” bagi orang Jawa dan Sunda. Dalam budaya Bugis dan Makassar tidak ada pembedaan panggilan bagi pria dan wanita, jadi wanitapun bisa saja dipanggil “daeng” meski kurang jamak terdengar.
“Daeng” tidak ada hubungannya dengan keningratan atau darah bangsawan. Semua berhak menggunakannya karena memang ini istilah umum yang digunakan sebagai bentuk menghormati mereka yang lebih tua.
Untuk kasus protes seperti yang saya cerita di atas, kesalahan konteks protes adalah ketika mereka menganggap derajat Jusuf Kalla direndahkan dengan panggilan “daeng” karena disejajarkan dengan tukang becak. Padahal, orang Bugis-Makassar menyapa tukang becak (atau pekerja informal lainnya) dengan kata “daeng”sebagai sebuah penghargaan kepada manusia, tidak peduli apapun profesi mereka. Karenanya saya sungguh geli melihat protes yang tak sesuai konteks itu.
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin punya nama paddaengang; Daeng Mattawang
2. Daeng Dalam Suku Makassar.
Selain “daeng” yang digunakan jamak oleh orang Bugis-Makassar, ada juga “daeng” yang khusus dipakai oleh suku Makassar. “Daeng” yang ini adalah bagian dari paddaengang, atau nama halus yang digunakan oleh suku Makassar.
Dalam tradisi suku Makassar, paddaengang yang disematkan setelah nama asli adalah sebuah kebiasaan. Setiap orang dari suku Makassar akan mendapatkan nama “daeng” selain nama aslinya, nama “daeng” ini diambil dari nama leluhur yang biasanya berupa doa atau sesuai ciri fisik si pengguna nama “daeng”.
Contohnya seperti saya. Nama asli saya; Syaifullah dan kemudian karena mengikuti tradisi suku Makassar (suku asal saya) saya menambahkannya dengan nama paddaengang Daeng Gassing. Dalam bahasa Makassar, gassing berarti kuat. Nama itu saya ambil dari nama kakek buyut yang konon terkenal kuat dalam memegang prinsipnya meski harus menjemput ajal karena keteguhan prinsipnya itu. Harapan saya tentu saja agar saya bisa mewarisi sifat-sifat positif beliau.
Nama asli saya disebut sebagai areng kasara’ atau nama kasar, sedang nama Daeng Gassing disebut areng alusu’ atau nama halus. Keluarga yang usianya lebih muda dari saya harus memanggil saya dengan Daeng Gassing kalau tak mau dianggap tidak sopan. Bagi yang seumuran atau lebih tua cukup memanggil saya dengan Gassing atau memanggil nama asli saya.
Begitulah, “daeng” atau paddaengang memang lekat dengan tradisi Bugis-Makassar, khususnya suku Makassar. Seingat saya tradisi ini sempat memudar bertahun-tahun lalu karena generasi muda merasa kalau tradisi ini sudah cukup kuno dan kurang gaul. Beruntung karena derasnya arus media sosial dan internet bisa menumbuhkan kembali kebanggaan akan tradisi ini. Sekarang anak-anak muda kota Makassar tidak segan lagi menyapa mereka yang lebih tua dengan sebutan “daeng”, pun saya bisa bangga menggunakan nama paddaengang saya menjadi nama blog.

sumber :
http://hellomakassar.com/mengenal-daeng-dalam-tradisi-bugis-makassar/


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar