Penulis: Pepih Nugraha | Rabu, 11 Februari 2015 | 14.15 WIB
KOMPAS/PEPIH NUGRAHA
Di ruang pamer yang menyatu dengan pusat penelitian dan pengembangan Huawei Technologies di Shanghai, Tiongkok, pengunjung tidak sekadar melihat produk perangkat keras yang akan diluncurkan, tetapi juga dapat melihat rencana besar perusahaan ini dalam men-
Oleh: Pepih Nugraha
KOMPAS.com - Perjalanan ke Tiongkok, khususnya ke Shanghai dan Shenzen pertengahan Desember 2014 lalu, saya agendakan sebagai perjalanan teknologi informasi. Ini berkat jasa baik Huawei Technologies yang mengundang tiga jurnalis Indonesia berkunjung ke Tiongkok selama dua pekan, termasuk saya.
Mengapa perjalanan ini saya sebut sebagai “Tech Travel” yang terkesan lebih banyak “dolanan” atau “leisure”-nya ketimbang serius meliput kemajuan teknologi informasi di negeri yang dulu sering disebut “Tirai Bambu” itu?
Bukan tanpa alasannya. Saya ingin melihat kemajuan di bidang teknologi informasi Tiongkok, setidak-tidaknya aktivitas yang dilakukan Huawei, dari sisi yang lebih ringan tetapi berdampak besar bagi kehidupan sehari-hari di masa mendatang.
Saya ingin menyajikan laporan teknologi informasi secara faktual tanpa harus membuat pembaca terlalu banyak mengernyitkan dahi. Di Tiongkok, saya mendapat pelajaran menarik bagaimana insinyur informatika, developer pembuat aplikasi, dan teknisi gadget (gawai) memproduksi segala hal yang user-friendly buat para konsumennya.
Sulit untuk disangkal, negara-negara terkemuka dunia di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi –biasa disebut ICT- saat ini sedang memasuki garis finish perlombaan era digital, sebuah zaman yang dipercaya sebagai pintu masuk peradaban masa depan.
Masing-masing negara punya cara dan kebijakannya sendiri-sendiri memperlakukan dunia ICT ini, termasuk Tiongkok. Jepang dan Korea Selatan yang merupakan pesaing terdekat Tiongkok, punya cara sendiri mengembangkannya.
Jepang, misalnya, melalui bendera Sony, telah lebih awal menancapkan hegemoni digitalnya di dunia dengan produk-produk elektronik yang mengisi kebutuhan sehari-hari manusia, mulai kebutuhan rumah tangga sampai hiburan. Dari “walkman” sebagai perangkat musik bergerak pertama menggunakan kaset, sampai masuk ke industri ponsel pintar.
Korea Selatan boleh berbangga diri dengan “Samsung”-nya di mana barang-barang elektronik yang dihasilkannya menjadi perlengkapan sehari-hari masyarakat. Untuk ponsel pintar, Samsung telah lama mengatasi Nokia yang sempat merajai dunia dan bahkan iPhone dengan varian terakhirnya iPhone6.
Bagaimana cara Tiongkok memasuki dunia digital sebagai megabisnis saat ini dan masa depan?
Cara Tiongkok, negara raksasa berpenduduk 1,3 miliar membayangkan sekaligus menciptakan masyarakat digital masa depan memang cukup menarik untuk disimak. Ini setidak-tidaknya tergambar dari cara Huawei Technologies menyusun rencana strategi bisnis masa depan mereka melalui sebuah silabus dan expo digital yang berada di kota Shanghai maupun Shenzhen, dua kota besar Tiongkok yang merupakan “markas” Huawei.
Di sini serenceng silabus disampaikan para mentor terkemuka perusahaan ICT tersebut kepada ribuan mahasiswa asing yang diundang setiap tahunnya, termasuk limabelas mahasiswa Indonesia yang terpilih mengikuti “Huawei Undergraduate Works Program” di Tiongkok selama dua pekan.
Untuk menggambarkan Digital Society atau masyarakat digital ideal yang hendak dibangunnya, misalnya, terlebih dahulu mereka mengutip pernyataan salah satu CEO Huawei, Ken Hu, yang mengatakan, “Karakter masyarakat digital tidak lain digitalisasi informasi sekaligus terhubung secara bijak”.
Pernyataan ini kemudian dirumuskan lebih tegas lagi bahwa masyarakat digital masa depan itu telah tiba dan sudah ada di depan mata. Sebuah tantangan yang harus dihadapi sekarang, bukan esok hari.
Selaku perusahaan ICT terkemuka di dunia, kunci hadirnya masyarakat digital itu segala sesuatu yang berubah. Perubahan (changes) telah terjadi dalam bentuk fisik yang lebih kompak dan mengarah digital dengan kecepatan internet yang terus ditingkatkan dan kapasitas penyimpanan data yang nyaris tanpa batas.
Tatkala menggambarkan bentuk fisik perpustakaan berupa gedung besar penyimpan ribuan buku dengan sebuah gawai Kindle dari Amazon, misalnya, mereka menamakannya sebagai “perpustakaan di telapak tangan”. Sederhana. Namun sebagai konsekuensinya, membaca sebagai kegiatan individu pun harus diredefinisi, harus diredefinisi ulang.
Ketika sirkulasi koran The Wall Street Journal yang mencapai 2,3 juta pelanggan tergeser oleh kecepatan informasi Twitter dengan pengguna di atas 500 juta, maka sebuah microblogging telah mengubah model distribusi berita.
Atau ketika Olimpiade London 2012 yang ditonton 8 juta orang di berbagai arena digilas oleh BBC dengan berbagai platform digital penyiaran dan ditonton 55 juta, maka olimpiade tersebut disebut sebagai “The 1st Digital Olympic”.
Terakhir, ketika perputaran uang Walmart di Tiongkok mencapai 58 miliar dollar AS tahun 2012 dikalahkan oleh gabungan dua toko online, Tmall.com dan Taobao.com dengan 1.000 miliar dollar AS di tahun yang sama, maka Huawei menyebut dua toko online itu sebagai sebuah platform bisnis baru.
Bagaimana masyarakat digital sedang mengubah wajah dunia, Huawei menggambarkannya sebagai lima periode penting. Apa kelima periode penting itu? Ikuti laporan “Tech Travel” berikutnya!
Editor: Reza Wahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar