Presiden dan Kurs Rupiah

 

Senin, 9 Maret 2015 | 13:16 WIB

Kompas.com/SABRINA ASRIL Presiden Joko Widodo

Oleh Christianto Wibisono*
KOMPAS.com - Pada hari Rabu, 4 Maret rupiah terpuruk menembus angka 13.000 per dollar AS ketika Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan sedang berada di Washington DC mengatur KTT Obama Jokowi bulan Juni 2015. Yang menarik ialah pertemuan Luhut dengan Ernest Bower, senior adviser dan Sumitro Chair for Southeast Asia Studies & codirector Pacific Partners Initiative di CSIS Washington (think tank independen di Washington DC yang tidak ada hubungannya dengan CSIS Tanah Abang).
CSIS Washington mendirikan Sumitro Chair dengan co financing dari Hasyim Djojohadikusumo (adik Prabowo Sugianto) yang mengabadikan nama ayahandanya untuk memimpin pusat kajian Sumitro Djojohadikusumo tentang ASEAN di CSIS.
Ernest Bower adalah lobbyist AS yang bersama Karen Brooks pernah merupakan mata dan telinga Presiden Megawati dan Taufik Kiemas.  Karena fasihnya Karen berbahasa Indonesia sehingga Presiden Megawati tidak memerlukan penerjemah untuk mengatur KTT Megawati George Bush. Ketika itu dengan percaya diri, Megawati mengabaikan teriakan Amien Rais yang minta Megawati membatalkan KTT dengan Bush setelah ambruknya menara kembar WTC 11September 2001.
Dinamika konflik politik internal elite RI memang sangat volatile yang berdampak dan tercermin dari keterpurukan rupiah selama 7 presiden dan 70 tahun RI. Di awali dengan kurs yang sama dengan dollar Malaya (sekarang dollar Singapura), mata uang gulden Hindia Belanda menjadi rupiah yang masih setara hingga 1950.
Di bawah Presiden Sukarno, 3 menteri keuangan dari 3 partai berbeda melakukan pengguntingan dan pemotongan nilai uang. Syafrudin Prawiranegara Menkeu Masyumi Kabinet RIS (PM Mohamad Hatta) menggunting uang pada Maret 1950. Pada 24 Agustus 1959 Menkeu yang dijabat PM Djuanda (tidak berpartai) dan Menteri muda Keuangan Notohamiprojo (tokoh AJB Bumiputera 1912) menurunkan nilai mata uang Rp 1.000 dan Rp 500 menjadi Rp 100 dan Rp 50. Deposito perbankan diatas Rp 25.000 disita menjadi Obligasi 40 tahun.
Sekitar 6 tahun kemudian 13 Desember 1965 Rp 1.000 uang lama diganti dengan Rp 1 uang baru oleh Menko Keuangan Sumarno (ayahanda Menteri Rini Sumarno) di bawah payung Waperdam III Chairul Saleh. Sumarno dan Chairul formalnya tidak berpartai meski Sumarno dianggap dekat PNI dan Chairul Saleh tokoh Murba yang sempat menarik pistol di salah satu sidang kabinet 1964 di Istana Bogor menantang ketua CCPKI DN Aidit untuk berduel .
Presiden Soeharto melakukan 4 kali devaluasi, 1971 dan 1978 dilakukan oleh tokoh Mafia Berkeley Prof Dr Ali Wardhana yang memegang rekor jabatan Menkeu terlama dalam sejarah Republik sejak 1968-1983. Setelah itu Radius Prawiro yang lebih senior dari Kwik Kian Gie, alumnus Rotterdam malah mendevaluasi rupiah 2 x dalam 3 tahun (31 Maret 1983 dan 12 September 1986). Sumarlin yang menggantikan diwanti wanti oleh Soeharto agar tidak memalukan sang “raja Jawa” setiap kali pidato ekonomi kuat tapi ternyata rupiah terus terpuruk.
Pada krisis Perang Teluk 1991 Sumarlin melakukan tight money policy (politik uang ketat), gebrakan Sumarlin menaikkan suku bunga overnight sampai 100 persen.
Diplomasi setara
Ketika krisis baht merebak pada 2 Juli 1997 PDBI mengusulkan kepada Gubernur BI Sudrajad dan Mensesneg Moerdiono agar Presiden membuang gengsi dan segera menyerah mendevaluasikan rupiah dari Rp 2.300 waktu itu langsung menjadi Rp 5.000 per dollar AS. Reaksi pemerintah adalah paduan suara retorika bahwa fundamental ekonomi RI kuat dan karena itu dollar juga dilepas tidak lagi dikendalikan oleh Bank Indonesia.
Maka jebollah bendungan kepercayaan rakyat yang memang sudah sangat tipis dan rupiah hancur ke Rp  17.000 pada Januari 1998. Ketua MPR Harmoko tetap memaksakan pelantikan Soeharto 14 Maret 1998 tetapi akan menikam Soeharto 18 Mei dan akan lengser 21 Mei 1998.
Tiga presiden berkutat dengan kurs rupiah karena juga tidak pernah melakukan investasi jangka panjang yang strategis, infrastruktur terbengkalai, akibatnya biaya logstik Indonesia termahal sedunia. Sebab, emosi nasionalisasi KPM oleh Pelni pada 1957 menghancurkan sistem logistik yang sulit dipulihkan hingga hampir setengah abad.
Presiden Jokowi masih berpikir konvensional dan berkiblat ke superpower AS. Padahal rakyat Indonesia, kelas menengah Indonesia sudah muak dengan inferioritas diplomasi RI yang malah
“jual murah” kepada AS tanpa give and take diplomasi yang setara. Indonesia menjadi mitra AS anti komunis dengan gratis, sedang di Vietnam AS harus mengucurkan miliaran dollar AS dan darah korban 50.000 serdadu AS. Di Indonesia AS menikmati Freeport sebagai imbalan “bantuan ekonomi" Barat via IGGI pasca jatuhnya Bung Karno. Itu juga murah meriah buat AS karena Eropa dan Jepang menanggung 2/3 dari arus dana untuk RI.
Kelas menengah Indonesia memiliki paling sedikit kekuatan dana setara cadangan devisa resmi 115,5 miliar dolla AS. Semuanya dimubazirkan oleh pemerintah yang dikuasai penguasaha korup. Pemerintah tidak memberi peluang dan perlakuan seperti Jepang memperlakukan warganya yang memiliki aset secara terhormat dan setara.
Pemerintah Jepang menghargai hak milik properti dan kekayaan warga. Karena itu jika setelah membayar pajak warga masih memiliki surplus aset, pemerintah dan negara meminjam dengan mengeluarkan obligasi untuk membiayai proyek pembangunan jangka panjang strategis. Sebesar Rp 40 triliun dari Rp 90 triliun dana APBN Jepang berasal dari obligasi. Hanya Rp 50 triliun dari pajak.
Di Indonesia, 6 presiden hanya membebani rakyat dengan kurs rupiah yang terpuruk, daya beli yang terpotong oleh negara. Modal sosial ini yang hilang dari rakyat kepada presiden dan pemerintah. Salah besar kalau Presiden berkiblat ke Washington dan bukan ke Bumi Pertiwi. Kelas menengah Indonesia, pemilih produktif kreatif yang memiliki dana 200 miliar dollar AS diberlakukan seperti pesakitan. Padahal mereka adalah pemilik sah Republik ini.
*Christianto Wibisono, Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar