Dari Aliran Kali Pepe, Tongkat Kayu dan Bambu Jadi Jokowi
Bagus Prihantoro Nugroho – detikNews
Mengalir kecil sebuah Sungai Pepe di Surakarta, Jawa Tengah, sebuah sungai yang tak sebesar dan tak seternama Bengawan Solo. Sungai itu melintasi desa di wilayah Srambatan yang penuh dengan kayu dan bambu di masa silam.
Sebuah rumah sangat sederhana dari gedhek (anyaman bambu) berdiri meski tak begitu kokoh di bantaran sungai Pepe. Dari situlah cerita ini bermula, ketika kamar paling murah di RS Brayat Minulyo menjadi saksi bisu lahirnya seorang yang sederhana pula di hari Rabu Pon, tanggal 21 bulan Juni tahun 1961.
Tangis bahagia keluar dari Sujiatmi ketika melahirkan buah cintanya dengan Notomiharjo waktu itu. Nyala redup lampu semprong mengiringi bayi laki-laki yang akhirnya diberi nama Joko Widodo.Tak jauh berbeda kehidupan bantaran kali masa kini dengan kala itu, banyak digusur atau pun diminta pindah oleh pemilik rumah.
Kehidupan Joko Kecil diwarnai oleh suasana nomaden karena harga sewa rumah terus naik.Bantaran sungai Dawung Kidul menjadi tempat hinggapan kedua dengan suasana yang tak jauh berbeda tapi ukuran yang lebih kecil.
Berpindah lagi ke daerah Munggur yang lagi-lagi dialiri Sungai Pepe, di situlah kebahagiaan keluarga Notomiharjo bertambah dengan kehadiran tiga putri lagi.
Penghasilan pas-pasan sebagai tukang kayu di desa membuat Notomiharjo harus memutar otak dengan keras. Tapi dari kayu itulah Notomiharjo bisa menyekolahkan Joko Kecil dan ketiga putrinya.
Bantaran Kali Anyar menjadi persinggahan selanjutnya karena di situ itulah sebuah pasar kayu besar bergeliat. Kehidupan keluarga Notomiharjo sedikitnya berubah dari riuh rendah perkampungan menjadi ramai-ramai suasana Pasar Gilingan, Surakarta
"Orang tua saya, Notomiharjo dan Sujiatmi, adalah sosok luar biasa yang tahu bagaimana mengelola keluarga bahagia walau berada dalam kondisi serba terbatas," ujar Joko Widodo seperti dikutip detikcom dari buku 'Jokowi: Memimpin Kota Menyentuh Jakarta' karya Alberthiene Endah, Selasa (22/7/2014).
Pertama kali Joko kecil bersekolah adalah di SD Negeri 111 Tirtoyoso, Solo, selama 6 tahun sejak 1968. Tak ada biaya untuk membeli sepeda untuk menemani dia sekolah, maka jalan kaki adalah yang paling memungkinkan.Langkah demi langkah Joko kecil hingga usia 12 tahun rupanya membuat dia melihat-lihat bagaimana cara menggergaji kayu dan memotong bambu. Telur-telur bebek yang tergeletak tak bertuan juga menarik perhatian bocah itu.
Tak ingin berlama-lama menjadi beban ayahnya yang hanya tukang kayu, dia juga memulai berpikir bagaimana cara berdagang. Rasa tertariknya pada dunia dagang berdagang dituangkan dengan memanggil-manggil pedagang apa pun yang lewat.
"Saking getolnya saya memanggil pedagang, suatu kali saya dengan kencang meneriaki abang yang entah berdagang apa agar mendekat. Ternyata dia pedagang arang. Terlanjur dipanggil, ya terpaksa Ibu membayar arang-arang tersebut, padahal saya tidak butuh," kata Jokowi.
Memang pedagang-pedagang keliling kala itu menginspirasi Joko kecil untuk gigih mencari nafkah. Sejak itu dia semakin akrab dengan dunia 'wong cilik'.
"Masa kecil saya adalah pembelajaran pertama tentang bagaimana memahami kehidupan rakyat. Apa yang saya lakoni saat ini tak bisa terlepas dari atmosfer yang menumbuhkan saya. Bantaran sungai kumuh di Surakarta itu mengajarkan saya banyak hal. Hidup manusia dan harapan," tutur Joko Widodo.
Sudah terbiasa melangkahkan kaki dari Pasar Gilingan menuju sekolah, rupanya Joko kecil harus pindah lagi bersama keluarganya. Notomiharjo yang tak sanggup lagi membayar sewa rumah pun terpaksa mengajak keluarganya menumpang tinggal di rumah kakak dari Sujiatmi yang terletak di wilayah Gondang.
Meski sudah tidak lagi tinggal di tengah ramainya Pasar Gilingan, suasana di Gondang terasa lebih hangat. Satu atap dengan keluarga besar membuat Joko kecil merasakan kehangatan.Di sisi lain kehidupan menumpang seperti itu sebenarnya tak seharusnya terjadi. Biar bagaimana pun sebuah keluarga harus mampu menjalani kehidupan sendiri.
Usaha Notomiharjo berjualan kayu juga semakin terpuruk karena tak lagi bisa berjualan di Pasar Gilingan yang ramai. Bertolak dari kondisi tersebut akhirnya membuat Notomiharjo merambah ke jalanan, menjadi sopir.
Ayah Joko itu menapaki dunia persopiran mulai dari sopir pribadi hingga sopir bus antar provinsi. Setiap malam Sujiatmi menunggu suaminya pulang hingga larut.
Tapi ternyata usaha gigih itu tak sia-sia, Notomiharjo kemudian mengajak keluarganya pindah dan mengontrak rumah sendiri di wilayah Manahan. Ketika itu Joko sudah menginjak usia remaja dan melanjutkan jenjang pendidikan ke SMP 1 Solo, sebuah sekolah yang bisa dibilang favorit.
Kehidupan masa SMP Joko Widodo tak banyak mengisahkan hal-hal baru, masih tetap diselimuti kesederhanaan meski Sang Ayah cukup sukses menjadi sopir. Melangkahlah kemudian Joko Widodo ke SMA Negeri 6 Solo, setelah kurang sukses terseleksi masuk ke SMA Negeri 1 Solo.
Sebuah ukiran baru terbentuk ketika Joko Widodo menginjakan kaki di SMA. Saat itu akhirnya sang ayah bisa membeli rumah kecil-kecilan di tengah kota Solo sehingga tak lagi menjadi nomaden bantaran kali.
"Kerap kali saya mensyukuri perubahan hidup kami yang membaik. Tapi tak jarang pula saya rindu bunyi air sungai yang mengantar saya tidur hingga bangun lagi di pagi hari," ungkap Joko Widodo yang sekarang akrab dipanggil Jokowi.
sumber : detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar