Pius Lustrilanang, Harry van Yogya, dan “Wani Piro”


Bre Dahana
| 01 July 2014 | 18:08
  Pius Lustrilanang adalah seorang aktivis pro demokrasi korban penculikan Tim Mawar Kopassus tahun 1998 atas perintah Prabowo Subianto. Pius akhirnya bergabung ke Partai Gerindra bentukan Prabowo. Pius menjadi salah satu ikon bagi Gerindra untuk menggambarkan bahwa Prabowo adalah seorang yang baik hati, sehingga korban penculikannya pun sudi bergabung ke partai yang dibentuknya. Selain itu, bergabungnya Pius dan beberapa orang korban penculikan ke Gerindra dapat mengeleminir persepsi publik terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo. Saat ini Pius adalah salah seorang tim sukses pasangan Prabowo – Hatta.
Harry van Yogya adalah seorang tukang becak yang biasa mangkal di daerah Prawirotaman Yogya yang bersama rekan sesama tukang becak Abuanto mengayuh becak dari Yogya ke Jakarta untuk mendukung pasangan Jokowi – Jusuf Kalla. “Kami berdua hanya punya dengkul. Kami niat secara tulus membantu dengan dengkul-dengkul kami,” kata Harry saat bertemu Jokowi di acara temu komunitas dunia maya atau netizen di Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2014) malam.

 http://tatamaya.com/wp-content/uploads/2012/09/cover-betjakway1.jpg
Hari ini, Selasa (01/7/2014) Kompas.com memberitakan komentar Pius Lustrilanang tentang aksi dukungan Harry van Yogya terhadap Jokowi-JK. Menurut Pius, tidak ada yang istimewa dari aksi Harry. Sepanjang republik ini berdiri banyak orang cari sensasi dengan berbagai macam cara. Tuduhan Pius pun jelas, aksi Harry hanyalah sebuah aksi mencari sensasi. 
 
“Dia menikmati, dia memang tukang becak. Jangan-jangan dengan begitu penghasilannya justru lebih banyak daripada genjot becak biasa,” kata tim sukes Prabowo – Hatta tersebut sambil menyebut bahwa dia sanggup mengadakan aksi serupa dengan melibatkan 500 tukang becak dari 500 kota.
 
Tuduhan Pius tidak berhenti terhadap aksi Harry. Menurutnya, dia tidak percaya rakyat benar-benar menyumbangkan uang untuk biaya kampanye Jokowi-JK. Yang ada tim sukses Jokowi membagikan uang kepada sejumlah orang lalu meminta orang itu memasukkan kembali uang yang sudah dibagikan ke dalam bank.
 
“Masyarakat sudah tidak mau keluar uang, yang ada adalah transaksi. Wani piro. Jika Anda ingin menggerakkan mesin, Anda harus punya oli, Anda harus punya bensin. Saya tidak percaya adanya volunterisme,” begitu ucapan mantan aktivis yang terpaksa beberapa saat pergi ke beberapa negara Eropa selepas diculik karena merasa nyawanya terancam.
Saat saya membaca buku “Jejak-Jejak Sayap Mengepak” (Profil Alumni SMA Kolese De Britto), salah satu perhatian saya tertuju kepada sosok bernama Blasius Hariyadi. Alumnus SMA Kolese De Britto Yogya angkatan 1988 ini sempat mengeyam empat semester kuliah di jurusan Matematika Universitas Sanata Dharma Yogya namun kini dia menekuni profesinya sebagai tukang becak. 
 
Tapi Hariyadi bukanlah tukang becak sembarangan. Dia menguasai dua bahasa asing, Inggris dan Belanda. Untuk menjaring pelanggan dari manca negara, dia menggunakan media sosial baik facebook maupun twitter. Tak heran apabila pelanggan jasa Hariyadi lebih didominasi turis-turis manca negara. Selain itu, Hariyadi juga menulis buku berjudul “The Becak Way” dan pernah tulisannya tentang situs jejaring sosial dimuat di rubrik teknologi harian Kompas.
Teman-teman sesama alumni SMA Kolese De Britto awalnya iba terhadap “nasib” Hariyadi yang menjadi tukang becak. Di mata teman-temannya, profesi yang dijalani Hariyadi tidak manusiawi. Maka bermacam tawaran bantuan diarahkan ke Hariyadi, dari mulai permodalan untuk beternak lele sampai tawaran untuk menjadi salah satu karyawan di perusahaan milik temannya. Semua teman ingin Hariyadi memiliki profesi yang lebih manusiawi. 
 
Namun semua tawaran “empuk” tersebut ditolak oleh Hariyadi. Dia tidak mau dikasihani. Baginya profesi tukang becak tidaklah hina. Hariyadi memiliki pandangan, tukang becak adalah ujung tombak dunia pariwisata Yogya karena melalui mereka para turis mendapat penjelasan tentang Yogya dengan segala obyek wisatanya. Becak baginya adalah salah satu sarana transportasi tradisional yang bisa menjadi ciri khas budaya Yogya yang patut diuri-uri.
Hariyadi juga memiliki harapan terhadap keberadaan becak di Yogya. Menurutnya, sebaiknya semua biro perjalanan yang membawa rombongan ke Yogya untuk keperluan kunjungan ke tempat wisata di dalam Kota Yogya menggunakan jasa becak. Selain bisa meningkatkan penghasilan para tukang becak juga bisa mengurangi kepadatan lalu lintas serta mengurangi polusi yang dapat menjadikan Yogya nyaman kembali. 
 
Hariyadi bekerja bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kemajuan dunia pariwisata Yogya. Dia juga terus berjuang agar becak selalu mendapat tempat yang layak di tengah arus modernisasi Yogya yang lalu lintasnya semakin dikuasasi kendaraan bermotor. Kota yang dulu disebut kota sepeda kini sudah mulai sumpek dengan hiruk deru sepeda motor. Itulah sekelumit gambaran spirit hidup dan gagasan seorang tukang becak bernama Blasius Hariyadi yang tidak lain adalah Harry van Yogya.
 
Mencermati tuduhan Pius Lustrilanang dan membaca sekelumit sejarah dan nilai yang diyakini Harry van Yogya maka ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan :
Pertama, aksi yang dilakukan Harry bukanlah sekedar mencari sensasi semata seperti dituduhkan Pius. Harry punya keyakinan yang kuat untuk mendukung Jokowi-JK dengan nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang dapat kita lihat dari perjalanan hidup Harry.
 
Kedua, Harry tidak mungkin mengeruk keuntungan materi dengan mendukung Jokowi-JK. Kalau Harry ingin mendapat keuntungan materi tentu dia sudah mau menerima segala bantuan teman-teman alumni SMA Kolese De Britto dan dia tidak akan pernah setia dengan profesinya sebagai tukang becak yang diyakininya tidak hina.
 
Ketiga, saya semakin yakin bahwa bergabungnya Pius ke Gerindra bukan karena nilai-nilai ideal yang diyakininya tetapi karena “wani piro”. Sebab, apa yang disampaikan Pius adalah cerminan logikanya.
 
Keempat, komentar Pius bahwa dia tidak percaya terhadap volunterisme semakin meyakinkan saya bahwa koalisi partai politik maupun dukungan berbagai pihak terhadap pasangan Prabowo – Hatta tidak terlepas dari praktek politik 

transaksional. Maka layak disimpulkan bahwa dukungan terhadap Prabowo – Hatta selalu berlandaskan “wani piro”.
Kelima, dengan menyebut mampu mengadakan aksi serupa dengan aksi Harry van Yogya dengan melibatkan 500 tukang becak dari 500 kota, Pius telah membuka kedok bahwa aksi-aksi dukungan terhadap Prabowo – Hatta lebih bersifat mobilisasi dibanding partisipasi. 
 
Namun terlepas dari segala tuduhan Pius Lustrilanang terhadap Harry van Yogya, saya menemukan sebuah spirit hidup yang luar biasa pada diri Harry van Yogya. Saya bisa lebih “berguru” tentang spirit hidup kepada Harry van Yogya dibanding kepada Pius Lustrilanang.


sumber :
Kompasiana


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar